Pendidikan Ibu Rendah, Titik Rawan Terjadinya Anak Tidak Sekolah
Tingkat pendidikan ibu dalam suatu keluarga, ternyata menjadi salah satu faktor titik rawan terjadinya anak tidak sekolah (ATS). Disamping faktor lingkungan, peran tokoh masyarakat dan fkator umum lainnya seperti kemiskinan, usia anak dan lokasi tempat tinggal.
“Orang tua, utamanya seorang ibu yang rendah tingkat pendidikannya, menjadi titik rawan terjadinya ATS, karena mereka tidak mampu membimbing dan memberikan motivasi belajar kepada anaknya,” ujar DR Tukiman Taruno, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) saat menjadi pembicara dalam kegiatan Lokakarya Pendidikan dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (Wajardikdas) 9 tahun, di Operation Room Graha Adiguna Purbalingga, Senin (10/11).
Menurut Tukiman Taruno, titik rawan terjadinya ATS pada umumnya terkait erat dengan faktor kemiskinan. Dimana wilayah yang menjadi kantong kemiskinan baik di perdesaan maupun perkotaan, umumnya juga menjadi kantong ATS. Faktor lainnya, lanjut Tukiman, adalah usia anak dan faktor tempat tinggal. Dalam penelitianya, Tukiman menyebutkan, anak usia 7-12 tahun atau anak SD sederajat, disamping godaan drop out (DO) cukup tinggi, juga tergolong tinggi dalam hal tidak melanjutkan sekolah. Sementara usia 13-15 tahun tingkat DO-nya juga tinggi.
Dusun yang terpencar-pencar secara geografis, menurut Tukiman, juga mendorong tingginya ATS. Atau setidaknya menjadi daerah rawan DO dan tidak melanjutkan sekolah.
“Faktor yang selama ini kurang diperhatikan justru adanya tingkat pendidikan ibu yang rendah, lingkungan dengan tradisi bersekolah yang kecil serta tidak adanya peran tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Ini semua menjadi titik rawan terjadinya ATS,” tandasnya.
Sebagai solusinya, lanjut Tukiman, pemkab dan masyarakat Purbalingga harus memiliki komitmen yang sama untuk menuntaskan program wajardikdas 9 tahun pada 2015. Selain itu, seluruh stakeholder terus bekerja keras dan kerja cerdas, sehingga pada 2016 benar-benar menerapkan Wajardikdas 12 tahun.
“Dinas Pendidikan dan Dewan Pendidikan harus berdiskusi dengan kalangan DPRD untuk mencari terobosan dalam hal penuntasan wajardikdas 9 tahun. Apakah akan dituntaskan 2015 atau kapan. Termasuk menentukan payung hukum apakah menggunakan perda, perbub atau cukup dengan inbup,” jelasnya.
Selain komitmen, agar program tersebut mendapat dukungan masyarakat, juga perlu diciptakan adanya keterikatan emosi baik terhadap anak maupun dunia pendidikan. Termasuk mewujudkan institusi pendidikan yang semakin kuat.
Kegiatan Lokakarya Pendidikan akan berlangsung dua hari hingga Selasa (11/11) menghadirkan sejumlah narasumber yakni pakar pendidikan DR Tukiman Taruno dari UNNES, pakar kebijakan publik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto DR Sukarso dan F.A Agus Wahyudi sebagai moderator. Untuk hari kedua, akan menghadirkan narasumber Drs H Sukristanto MPd dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) dan Drs FA Agus Wahyudi MSi dari SMA Negeri 2 Purwokerto dengan moderator Drs Tri Joko W MPd.
Menurut Kepala Bappeda Purbalingga, Setiyadi, lokakarya dimaksudkan untuk menyerap, mendiskusikan dan mengevaluasi berbagai permasalahan dan tantangan pendidikan secara umum, khususnya di Kabupaten Purbalingga.
“Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat merekomendasikan, merumuskan dan menghasilkan formulasi strategis yang kritis solutif, yang akan digunakan dalam penyusunan formulasi strategi penuntasan wajardikdas 9 tahun,” katanya.
Kegiatan yang diikuti berbagai unsur pelaku pendidikan, juga sebagai bentuk kepedulian dan komitmen pemkab terhadap pembangunan pendidikan. Juga sebagai salah satu instrumen dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan bidang pendidikan, khususnya terkait akses masyarakat terhadap layanan pendidikan.
Sebagaimana diungkapkan Bupati dalam sambutan tertulis yang dibacakan Sekretaris Daerah Imam Subijakto, di Kabupaten Purbalingga saat ini masih terdapat sedikitnya 19.257 (21 persen) anak SD sampai SMA sederajat tidak sekolah atau putus sekolah. Terdiri dari anak SD sederajat 4 persen, SMP 29 persen dan SMA sederajat 73 persen. Sedangkan capaian APK SMP sederajat di Purbalingga tahun 2013 dan 2014 masing-masing 90,06 persen dan 94,65 persen.
“Capaian APK SMP sederajat belum mencapai 95 persen, maka program Wajar Dikdas 9 tahun di Purbalingga masih perlu ditingkatkan. Apalagi pemerintah telah meluncurkan program rintisan Wajar Dikdas 12 tahun,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Kab.Purbalingga dalam Lokakarya Pendidikan